Titik Terakhir (cerpen bagian 1)

Terdengar suara bising motornya memasuki halaman parkir sekolah.
“Maaf bu,saya terlambat.” Untuk yang kesekian kali setiap pelajaran pertama, suara itu terdengat sangat akrab di telingaku. Sudah seminggu terakhir ini Rian, teman sebangkuku terlambat datang ke sekolah dan jika ditanya mengapa, alasannya masih sangat kolonial, yaitu tidur terlalu larut, terlambat bangun, di tambah jalanan macet. Kemudian tanpa basa-basi lagi dengan gayanya yang khas, ia langsung duduk disebelahku.

Tepat pukul satu siang. Saat yang paling tidak menyenangkan berada di kelas. Hawa panas yang menyengat bercampur menjadi satu dengan perasaan ingin cepat pulang, membentuk kepulan-kepulan yang mempengaruhi konsentrasi belajar.

“Keluar yuk, percuma disini, gurunya galak dan cara mengajarnya membosankan, monoton”, bisik Rian padaku,takut suaranya terdengar oleh sang guru. Tanpa banyak pikir panjang aku langsung menyetujui ajakan Rian. Aku dan Rian pergi ke kantin sekolah sambil menyusun rencana dan memikirkan alasan apa yang akan kami utarakan jika dipanggil menghadap guru BP nanti, karena ke kantin pada saat jam pelajaran dengan dalih pergi ke toilet. Tapi kami tidak begitu memperdulikannya, karena alasan pasti akan datang menyertai kami saat kami ada masalah.

Udara pada hari itu memang tidak sedang bersahabat, panas menyengat di sekujur tubuh seakan bumi ini memanggang seluruh penghuninya. Awalnya, pulang sekolah aku berniat langsung pulang ke rumah karena tidak tahan dengan serangan panas yang membabi buta menyerang apa saja, di tambah kantuk yang sudah memasuki stadium 4. Tapi Rian mengajakku main dulu, akhirnya aku pun mengurungkan niat langsung pulang ke rumah.

Rian mengajakku ke tempat ia biasa kumpul bersama teman-temannya di luar. Di sebuah rumah yang lumayan besar tapi tidak terurus, Rian mengajakku masuk. Tak ada satu pun dari mereka dirumah itu yang ku kenal. Penampilan mereka urakan, menandakan mereka liar dan besar di jalanan. Tapi cara bicara mereka teratur dan sistematis seperti para anggota dewan. Mereka pun menyalami dan memperkenalkan diri padaku. Kurang lebih dua jam berlalu, setelah saling bertukar cerita dan tawa, aku teringat akan pulang ke rumah. Lalu aku pamit untuk pulang, tapi sejak datang tadi tak ku lihat dimana Rian. Saat hendak ku tanyakan dimana keberadaan Rian, Rian keluar dari sebuah ruang belakang. Matanya sedikit merah, entah tadi di dalam sana ia tidur atau apalah, aku tak perduli, yang pasti aku harus lekas pulang.

Pagi datang. Matahari menggeser bulan, bergantian memantau tingkah laku anak cucu Adam. Bel sekolah berbunyi, semua siswa masuk kelas masing-masing. Kulihat di parkiran sekolah, motor Rian belum terlihat, tampaknya ia terlambat lagi hari ini.
Sudah satu jam pelajaran pertama berlalu, tapi kursi disebelahku masih kosong, Rian belum datang juga. Otakku berpikir kemana ia pergi, kalau tidak sekolah ia pasti sms padaku atau mengabari teman yang lain. Panas hari ini tidak seganas kemarin, penat pun tidak begitu terasa. Tapi ada sesuatu yang aneh hari ini, Rian tidak masuk sekolah dan tidak satupun yang mengetahui dimana ia berada.
Bel pulang sekolah berbunyi, seluruh siswa tumpah di parkiran. Tanpa pikir panjang langsung kubawa motorku pulang. Sesampai di rumah, rasa lelah begitu menyerangku lalu aku pun tertidur sampai suara ayam berkumandang di pagi hari membangunkanku.

Ku jalani runititas pelajar sebagaimana mestinya. Hari ini banyak ulangan dan semalam aku tidak belajar. Aku berharap Tuhan akan memberikan anugrahnya melalui sebuah sms yg diperantarai oleh temanku. Lalu mau jadi apa bangsa ini kalau semua generasi penerusnya sepertiku?. Hari ini Rian belum juga masuk sekolah, entah kemana dia, semua guru mata pelajaran yg mengajar hari ini menanyakan padaku kabar Rian sedangkan aku sendiri tidak tahu.

Rian memang terkenal di sekolah karena reputasinya yang beraneka ragam. Dia terkenal tidak pernah mengumpulkan tugas, penampilannya yang sekehendak hati, dan jika dia bosan dengan suatu pelajaran maka dia tidak segan keluar pelajaran itu. Tapi reputasi buruknya itu selalu dia iringi dengan nilai-nilai yang sempurna pada saat ulangan harian atupun semester. Jadi, walaupun banyak guru yang tidak suka padanya, tidak sedikit pula guru yang menyukai dia.

Sepulang sekolah aku berniat mengunjungi tempat tongkrongannya. Sesampainya disana tidak kulihat motor Rian. Kumasuki rumah itu, lalu aku menanyakan keberadaan Rian. Tidak satupun dari mereka yang tahu. Mereka bilang sudah dua hari Rian tidak kesini dan terakhir dia kesini ia hanya bertemu sebentar dengan Bongky, yaitu koordinator anak jalanan itu sekaligus pemilik rumah. Lalu aku pun pamit pulang kepada mereka. Di rumah aku coba menghubungi hp Rian, tapi selalu tidak aktif, nampaknya ia sedang tidak ingin di ganggu.

Tanpa terasa hari semakin berlalu, ini hari ke tujuh Rian tidak sekolah. Aku selalu berusaha menghubungi dan mencari dimana Rian tapi hasilnya selalu nihil. Pihak sekolah mengrim surat panggilan ke rumah Rian tapi karena ibunya Rian sedang berada diluar kota dan ayahnya di luar negeri, jadi belum satupun dari mereka memenuhi panggilan sekolah. Kedua orang tua Rian memang sudah bercerai, dan Rian memilih tinggal bersama ibunya di Indonesia. Tapi pasti saat ini orang tuanya pun tidak tahu kalau sudah satu minggu Rian menghilang dari peredaran.

Hari ini lagi-lagi panas begitu menyengat, tidak bersahabat. Dengan langkah gontai kubawa motorku pulang. Di perjalanan pulang, tak sengaja kulihat motor Rian terparkir di depan sebuah taman dan tidak jauh dari sana kulihat sosok Rian yang sedang merenung seorang diri. Aku berhenti sejenak, kuurungkan niat pulang lebih awal. Kuhampiri Rian, ku duduk disampingnya. Ku tanya kemana saja dia selama ini. Lalu ia menjawab,”tak perlu kau tahu.”

“Sudah lama kita berteman, namun baru kali ini kau menyembunyikan rahasia padaku.” tegurku pada Rian.
Akhirnya Rian pun menceritakan semuanya padaku, tentang kesepiannya selama ini, tentang ridunya kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tua. Rian menginginkan kedua orang tuanya bersatu kembali. Tapi ada satu hal yang membuatku marah padanya, saat ia menceritakan cara ia terlepas dari kesepian itu. Saat dia menemui Bongky untuk memesan drugs. Ternyata saat kulihat ia keluar dari sebuah ruangan dan matanya merah, rupanya dia habis memakai drugs.

“kau sudah terpengaruh mereka ian!, anak-anak jalanan itu liar dan tak berpendidikan!, apa kau sudah tidak punya otak mencari ketenangan jiwa dengan mengunakan narkoba?!” kataku, meluapkan kemarahan pada Rian.

“terserah kau mau bilang apa, yang jelas tidak semua dari mereka pemakai. Dan apa kau pikir semua yang ada di tempat ibadah itu baik?, lalu kau anggap semua yang di jalanan itu buruk?” jawab Rian santai.

“tapi bukan narkoba cara yang tepat mencari ketenangan, bukan drugs!, ian, tuhan tidak akan membawa hambanya sampai sejauh ini kalau hanya untuk di tinggalkan begitu saja di tengah jalan” kataku meredam emosi.

“sudahlah, tidak ada gunanya kita bertengkar disini, ayo pulang” Rian menyudahi pertengkaran itu.

Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Ku ikuti Rian sampai ia benar-benar masuk ke rumahnya, lalu ia pun tersenyum padaku seakan beberapa saat yang lalu tidak pernah ada selisih paham antar sahabat.

Rintik hujan memulai hari baruku, aku pun sampai di sekolah dengan keadaan yang cukup basah. Belum sempat ku usap wajah yang basah karena air hujan, pengumuman di pengeras suara sekolah membuat seisi sekolah membatu dan kembali membasahi wajahku dengan air mata. Rian meninggal dunia tadi malam, ia over dosis narkoba. Aku tak mampu berkata-kata. Ruh seperti tercabut dari jasadku untuk menyusul Rian. Aku terdiam.

Rupanya air hujan menandakan turut berduka citanya alam atas kepergian Rian. Seusai pemakaman Rian, aku pergi ke taman dimana kemarin kami berselisih paham. Tak kusangka itu saat terakhir aku bicara panjang lebar dengan Rian, dan tak kusangka saat kuantar ia pulang ke rumah itu terakhir ku bertemu dia dan itu adalah senyum terakhirnya. Kubaca surat dari Rian yang dititipkan kepada ibunya yg saat itu sudah pulang dan mengantar kepergian terakhir anaknya, mungkin di tulis sebelum ia mengkonsumsi drugs secara berlebihan.





"Aku tahu tuhan tidak akan pernah meninggalkanku,
Karena aku sadar sebenarnya akulah yang meninggalkan tuhan,
Kini, aku siap kembali padanya,
Di dalam kesepian dan kesendirian aku mencari suatu titik dimana penderitaan itu berakhir,
Dan kini telah kutemukan titik itu,
Titik terakhir dalam hidup…"



Di tengah hamparan taman ini, kurasakan Rian hadir. Mungkin ini garisan hidupnya, tak ada satu pun yang dapat merubahnya kecuali dia sendiri dengan tuhannya.
Perlahan awan kelabu di langit turun menjadi gerimis. Butirnya yang lembut serupa tabir putih menyelimuti kenangan yang pernah tercipta diantara kami berdua.
Selamat jalan kawan. Selamat tinggal sahabat.

2 komentar:

  1. tambahin lagi dong....
    kok cuma ini aja....
    tapi tapi bagus kok ini ceritanya.

    BalasHapus
  2. ok bro, nanti gw tambahin. Makasih komennya.

    BalasHapus