Pencarian Terakhir (cerpen bagian 3)

Sebelah mataku yg mampu melihat.
Bercak adalah sebuah warna-warna mempesona.
Membaur suara dibawanya kegetiran.
Begitu asing terdengar.
Sebelah mataku yg mempelajari.
Gelombang kan mengisi seluruh ruang tubuhku.
Terbentuk dari sel akut dan diabetes adalah sebuah proses yg alami.
Tapi sebelah mataku yg lain menyadari gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yg hilang.

Sepanjang perjalanan pulang kuputar lagu itu berulang-ulang. Ada suatu makna tersendiri bagiku, entah maknanya apa tp yg jelas lagu itu memberikan sedikit ketenangan dlm kegalauan jiwa ini.
Cuaca hari ini cukup bersahabat, sesampainya di tanah kelahiran aku mengunjungi makam Rian, cukup rapi dan terawat, persinggahan terakhir seluas 2x1m itu di tumbuhi rumput yg bagus. Aku teringat akan semua kenangan b'samanya, mulai dari hal positif dan hal negatif yg lebih mendominasi. Tak terasa sudah hampir 5 tahun Rian pergi, kuliahku sudah hampir selesai, kenangan sebuah persahabatan bersama Rian masih tersimpan rapi di dlm benak. Sekitar 30 menit aku berada di makam Rian, ketika aku hendak pulang, datang seorang wanita yg mengunjungi makam Rian. Widi, tmn SMA aku dan Rian, sekaligus wanita yg paling Rian sayang setelah ibunya, namun naas Rian blm sempat menyatakan perasaannya kepada Widi karena Widi sudah berpasangan dan Rian sangat anti mengganggu hubungan orang. Aku pamit pulang lebih dulu kepada Widi, dan sengaja ku biarkan Widi dan Rian berdua walau hanya sebuah nisan yg terpampang.

Ku putar kembali kenangan di ingatanku yg mulai rusak ketika pertama kali masuk SMA, seluruh siswa baru upacara penutupan masa orientasi di lapangan dan disela upacara ada penyematan penghargaan kepada siswa-siswi yg masuk dgn nem tertinggi.

Rian berbisik kepadaku,
'siswi yg dapat penghargaan itu dari smp mana?'.
'tak tahu, memang kenapa?', jawabku singkat.
'CANTIK', jawab Rian lebih singkat tp penuh arti.

Setelah upacara selesai seluruh siswa di bubarkan, aku duduk di taman sekolah menikmati dan membayangkan indahnya mulai besok aku belajar sebagai predikat anak SMA.

Tiba-tiba Rian menepukku dan berkata, 'namanya WIDI!'
'Widi siapa?', jawabku bingung.
'itu siswi yg nem nya tertinggi tadi', jawab Rian seperti baru menemukan jawaban teka-teki silang.
'ohh suka kau sama Widi?', tanyaku pada Rian.
'tak tahulah', jawab Rian tetapi senyum-senyum seperti nomer togel yg dia pasang tembus.
'ayo pulang!', ajakku kepada Rian.
'ke samping dulu seperti biasa', ajak Rian.
'siap!', jawabku.

Baru 1 minggu sekolah kami langsung menemukan tempat strategis u/ melepas penatnya otak dari belenggu huruf dan angka. Setelah selesai kami pulang ke rumah masing-masing. Sejak hari itulah Rian mendedikasikan cintanya hanya u/ Widi walau harus menunggu tanpa batas waktu yg belum di tentukan. Entah ini yg dinamakan bodoh, tolol, atau setia? Entahlah aku tak mengerti tentang cinta.

Butir embun pagi membasahi jendela kamarku, tampaknya embun pun kini sudah sangat terkontaminasi, butiran beningnya seperti tertutup belenggu hitam kehidupan ini. Sambil melepas kejenuhan di kamar kadang aku tertawa sendiri ketika teringat masa-masa SMA, terbayang lg saat aku dan Rian di panggil ke ruang konseling. Aku dan Rian tak jarang disebut pasangan homo, tp bagi mereka yg berpikir positif dan berakal sehat menyebut kami sahabat yg sesungguhnya. Rian lebih eksis dariku, dia lebih mudah berbaur. Eksistensi Rian keluar-masuk BK di bayar lunas ketika dia memperoleh jumlah nilai terbesar atau dgn kata lain juara umum. Tp kisahnya dalam hal percintaan tidak seindah ketika dia menjadi juara umum. Keluarganya hancur berantakan, kesepian yg dia rasakan tak jarang dia gambarkan melalui goresan-gosenan pena yg membentuk untaian kata-kata indah. Dan ketika sudah tak bisa mengelak dari kegalauan tak jarang Rian mengajakku menghabiskan waktu dgn minuman berkadar alkohol 40-43% hanya u/ sekedar melepas penat yg membelenggu jiwa. Kami memang peminum tp bukan pemabuk walaupun sering kami minum sampai mabuk.
Liburan semester ini memang sengaja aku memutuskan pulang ke rumah dan ku tingalkan kamar kost yg tak pernah rapi, penuh botol dan abu rokok. Dulu kamar ini yg jd saksi ketidakwarasanku, 2 tahun lebih aku menjadi seorang pesakitan atau pecandu narkoba. Gejala adiksi atau yg lebih akrab dgn sebutan sakaw tak jarang membuatku membenturkan kepala pada dinding kamar. Seandainya Rian tak bisa meyakinkanku bahwa aku bisa lebih baik tanpa drugs, mungkin aku sudah mati over dosis atau mendekam di panti rehabilitasi. Maka dari itu, saat aku tahu Rian memakai drugs, aku marah karena Rian lah yg pernah berkata padaku bahwa drugs tidak akan memecahkan suatu masalah. Tp sungguh tragis, Rian menghadap sang ilahi dalam dekapan drugs.

Sebenarnya liburan kali ini aku ingin benar-benar istirahat. Rehat dari dunia dan meninggalkan setumpuk masalah yg ada. Tapi ternyata setumpuk masalah datang tanpa basa-basi. Pesang singkat dari Luna meremukkan hatiku dan menenggelamkannya ke jurang tanpa dasar. Luna akan ditunangkan dengan lelaki pilihan orang tuanya. Mimpi burukku menjadi kenyataan. Aku dan Luna memang menjalin hubungan, tp kami tak berkomitmen u/ berpacaran karena baik aku maupun Luna tidak mau sakit hati dalam sandiwara percintaan yg diberi judul 'pacaran', kami hanya saling mengisi hati dalam menjalani hari-hari satu sama lain. Tetapi orang tua Luna tidak pernah merestui hubungan kami. Menurut kabar dari Luna, akhir liburan ini pertunangan itu dilaksanakan.

Luna tidak bisa menolak, karena Luna pun pernah bercerita bahwa lelaki itu sangat baik dan peduli padanya dan hati Luna mulai bisa merasa nyaman bersama lelaki lain selain aku. Aku tak bisa mencegah itu, aku hanya ingin Luna bahagia. Tapi hati kecilku tak bisa memendam air mata u/ keluar. Dalam penatnya kejenuhan, ku arungi mimpi u/ menghapus impian bisa bersama Luna selamanya.

Pagi menyingkap tabir, aku pamit pagi-pagi kepada orang tuaku u/ kembali ke kota kembang. Hanya perasaan remuk yg ada, berbatang-batang iblis putih menemani kegalauanku sepanjang perjalanan. Sesampainya, langsung aku ke tempat kost lalu ku temui Luna di kampus.

Luna duduk di taman tempat biasa kami mengulur waktu dengan canda dan tawa. Aku terdiam, membisu seperti patung. Sekian detik aku dan Luna saling diam.

'maaf', Luna mengawali sebuah percakapan.
'untuk apa?', jawabku.
'untuk semua kebaikan yg telah kamu beri dan ajarkan padaku tetapi aku tidak bisa membalas semua itu, dan untuk waktumu yg telah terbuang sia-sia karena menunggu keluargaku menerimamu', jawab Luna.
'sudahlah, mungkin memang begini rangkaian kehidupan ciptaan sang ilahi u/ kita', jawabku sok bijaksana.
'tapi kamu pasti sakit hati', jawab Luna.
'biarkan sakit hati ini menjadi warna bahagia bagimu', jawabku dengan segala rasa sedih yg ada.
'aku harus pulang, Andre sudah menunggu di gerbang kampus', kata Luna.
'oh, namanya Andre? Ya sudah pulanglah, kasihan dia sudah menunggu', jawabku.

Langkah kaki Luna mengakhiri percakapan itu, tetapi mengawali kehancuran jiwaku. Manis dan getir bercampur menjadi satu. Dahan pohon yg bergoyang, daun yg berguguran seolah menyanyikan lagu tentang kisah cinta. Aku tak mau lama-lama berlarut dalam kesedihan itu. Aku bukan romeo dan Luna bukan juliet. Aku harus bisa menjalani hari seperti biasa. Tiba-tiba ada pesan singkat dari Luna.

'dalam keadaan putus asa, jgn mengulang kembali masa lalu yg sudah kamu simpan rapi itu'

Sebuah pesan sarat makna, Luna tak ingin aku terbawa suasana yg membawaku pada drugs dalam mencari ketenangan.

Malam makin larut, pagi hampir menyambut. Sudah seminggu aku tak berkomunikasi dengan Luna dan besok Luna akan bertunangan. Aku hanya terdiam dan tertawa. Mungkin aku bukan pemenang tapi aku juga tidak kalah, setidaknya Luna pernah memberiku kesempatan u/ mengenalnya. Itu sudah cukup bagiku. Kunikmati malam yg tak berbintang, langit seakan ikut berkabung dan prihatin terhadap keadaanku.

Pagi datang menyingsing. Kusambut hari ini dengan semangat membara. Tinggal hitungan hari liburan berakhir dan hari ini tepat pertunangan Luna. Sebenarnya Luna mengundangku u/ datang, tapi aku memutuskan u/ menghindar. Sampai liburan ini berakhir, aku memutuskan pergi menikmati indahnya warna-warni kehidupan. Biasanya aku pulang ke rumah naik bis, tapi kali ini aku ingin nostalgia dalam gerbong kereta yg penuh segala macam carut marut kehidupan.
Sesampainya di stasiun tanah kelahiranku, Niko, sahabatku dan Rian yg sudah lama tak jumpa karena dia pindah sekolah, menjemputku di stasiun. Mahasiswa filsafat ini ku ajak menemaniku menapaki rel kereta dari ujung pulau jawa bagian barat sampai ujung pulau jawa bagian timur. Cukup gila, dan terkesan buang-buang waktu, tapi inilah dulu yg aku, Rian, dan Niko lakukan saat mengawali liburan sekolah.

'aku kira setelah berpisah sekian lama kau sudah waras', ejek Niko padaku.
'aku merindukan masa-masa kita dahulu, karena itu ku ajak kau nostalgia', jawabku.
'seandainya Rian masih ada, mungkin dia punya ide caranya nostalgia yg lebih gila', jawab Niko sambil tertawa.

Tidak lama setelah itu, aku dan Niko naik kereta memulai perjalanan. Hanya lewat pesan singkat kusampaikan ijin aku pergi ke luar kota dan permintaan maaf karena tidak menyempatkan pulang ke rumah dahulu.
Sepanjang perjalanan, kunikmati suasana yg ada. Hembusan angin yg membelai mesra, suara angin yg lirih tapi merdu saat menyentuh dedaunan, cukup memberikan sedikit ketenangan pada jiwa kosongku. Kami saling bertukar cerita dan kuceritakan kejadian yg baru ku alami akhir-akhir ini. Dan perkataan mahasiswa filsafat ini cukup menyentuh dan memberikan hiburan pada hatiku.

Sekian lama perjalanan, gelandangan, pengemis, pedagang, dan lain sebagianya selalu setia menemani silih berganti. Niko sibuk merangkai kata-kata indah u/ materi skripsinya. Penumpang lain sibuk dengan barang bawaannya dan ada yg sibuk dengan mimpinya. Aku hanya terdiam, kulihat pemandangan alam sekitar, ku mencoba mengumpulkan kembali semangat yg selama ini punah. Waktu rehat yg cukup singkat ini ku gunakan sebaik mungkin. Dan aku mulai menemukan kembali mozaik-mozaik kehidupan baru yg siap ku susun. Aku tersadar, perasaan sakitnya hati karena cinta terhadap tambatan hati belum seberapa bila dibandingkan dengan perasaan sakit hatinya para pengemis dan gelandangan ini yg selalu dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Tapi mereka menikmati keadaan itu, karena inilah yg tuhan berikan u/ mereka. Mereka hanya bisa berusaha, selebihnya di serahkan kepada sang penggenggam jiwa.

Senja mulai datang sambut sang bulan. Suasana malam di gerbong kereta yg kotor dan bau segala macam aroma ini sungguh tak bisa dilukiskan. Tetapi yg pasti dari keadaan ini muncul buih-buih semangat menjalani hari-hari. Ku tutup lembaran kelam ini. Aku yakin Andre bisa membuat Luna bahagia.

Lalu aku? Aku tetaplah aku yg masih seperti dulu, hanya saja dengan semangat baru menatap dunia.
Malam makin sunyi, Niko sudah tertidur, penumpang yg lain pun sedang asik bermain dengan mimpinya masing-masing, para gelandangan dan pengemis pun menikmati mimpinya dalam gerbong ini. Kini yg terdengar hanya suara roda kereta diatas rel memecah kebisuan malam. Aku mulai memejamkan mata, dan besok pagi akan kusambut prolog sang mentari yg memanjakan bumi ini. Apa yang aku cari biarlah aku yang menemukan dalam pencarian terakhir ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar