Sebuah Catatan Kecil Kehidupan

Terlahir sebagai anak seorang yg berkutik di dunia hukum membuat warna tersendiri dlm hidup. Disiplin, tepat waktu, jujur, adil, tertanam dalam jiwa saat pertama kali menatap dunia. Nomaden seperti manusia purba tak jarang dilakukan demi mengemban tugas negara. Lelah memang,namun lebih lelah dan miris ketika melihat sebuah keluarga menaiki gerobak yg mereka anggap istana berlari-lari menghindari penertiban aparat.
Dalam kurun waktu 2 tahun, 3 SMA disinggahi, mengalami bermacam-macam perbedaan atmosfer pergaulan dan cara pandang hidup menjadi semacam phobia untuk menjalani setiap inci hari-hari kehidupan. Pasang-surut emosi tak jarang memicu benturan argumen dalam keluarga. Harus dijalani, disyukuri, dinikmati memang inti dari hidup ini.
Lelah dan lelah, cuma itu yg bisa di gambarkan. Bagaikan seorang pemberontak yang hanya bisa jalankan rencana di dalam akal sehat mereka, bermain dengan khayalannya, lalu tertawa di alam pikirnya.
Kadang kala berpikir untuk menyalahkan, namun terlalu banyak yg bisa disalahkan. Memaafkan menurut pemuka agama adalah jalan terbaik menghadapi masalah.
Tak jarang sebotol minuman dingin mengandung kadar alkohol 40-43% jd pelepas penat yang merangkul jiwa dan melepas segala emosi tentang cinta yg terpendam.
Bersama-sama sahabat lama, saling tukar cerita dalam kepulan asap di ruang yg sesak, dan berharap esok hari masih bisa melihat mentari yg bersinar.
Mungkin kadang kala kehidupan adalah fatamorgana para iblis di neraka atau para malaikat di surga. Setiap butir embun yg menetes membawa asa dan harap yg menjadi mimpi kelak.
Subsistem keteraturan yg terukir oleh goresan tangan tuhan tak bisa dipungkiri. Kehidupan mungkin mimpi tp mimpi adalah bagian dari kehidupan. Terlahir sebagai apapun asalkan berani bermimpi, kehidupan ini tak akan sekedar mimpi.

Pencarian Terakhir (cerpen bagian 3)

Sebelah mataku yg mampu melihat.
Bercak adalah sebuah warna-warna mempesona.
Membaur suara dibawanya kegetiran.
Begitu asing terdengar.
Sebelah mataku yg mempelajari.
Gelombang kan mengisi seluruh ruang tubuhku.
Terbentuk dari sel akut dan diabetes adalah sebuah proses yg alami.
Tapi sebelah mataku yg lain menyadari gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yg hilang.

Sepanjang perjalanan pulang kuputar lagu itu berulang-ulang. Ada suatu makna tersendiri bagiku, entah maknanya apa tp yg jelas lagu itu memberikan sedikit ketenangan dlm kegalauan jiwa ini.
Cuaca hari ini cukup bersahabat, sesampainya di tanah kelahiran aku mengunjungi makam Rian, cukup rapi dan terawat, persinggahan terakhir seluas 2x1m itu di tumbuhi rumput yg bagus. Aku teringat akan semua kenangan b'samanya, mulai dari hal positif dan hal negatif yg lebih mendominasi. Tak terasa sudah hampir 5 tahun Rian pergi, kuliahku sudah hampir selesai, kenangan sebuah persahabatan bersama Rian masih tersimpan rapi di dlm benak. Sekitar 30 menit aku berada di makam Rian, ketika aku hendak pulang, datang seorang wanita yg mengunjungi makam Rian. Widi, tmn SMA aku dan Rian, sekaligus wanita yg paling Rian sayang setelah ibunya, namun naas Rian blm sempat menyatakan perasaannya kepada Widi karena Widi sudah berpasangan dan Rian sangat anti mengganggu hubungan orang. Aku pamit pulang lebih dulu kepada Widi, dan sengaja ku biarkan Widi dan Rian berdua walau hanya sebuah nisan yg terpampang.

Ku putar kembali kenangan di ingatanku yg mulai rusak ketika pertama kali masuk SMA, seluruh siswa baru upacara penutupan masa orientasi di lapangan dan disela upacara ada penyematan penghargaan kepada siswa-siswi yg masuk dgn nem tertinggi.

Rian berbisik kepadaku,
'siswi yg dapat penghargaan itu dari smp mana?'.
'tak tahu, memang kenapa?', jawabku singkat.
'CANTIK', jawab Rian lebih singkat tp penuh arti.

Setelah upacara selesai seluruh siswa di bubarkan, aku duduk di taman sekolah menikmati dan membayangkan indahnya mulai besok aku belajar sebagai predikat anak SMA.

Tiba-tiba Rian menepukku dan berkata, 'namanya WIDI!'
'Widi siapa?', jawabku bingung.
'itu siswi yg nem nya tertinggi tadi', jawab Rian seperti baru menemukan jawaban teka-teki silang.
'ohh suka kau sama Widi?', tanyaku pada Rian.
'tak tahulah', jawab Rian tetapi senyum-senyum seperti nomer togel yg dia pasang tembus.
'ayo pulang!', ajakku kepada Rian.
'ke samping dulu seperti biasa', ajak Rian.
'siap!', jawabku.

Baru 1 minggu sekolah kami langsung menemukan tempat strategis u/ melepas penatnya otak dari belenggu huruf dan angka. Setelah selesai kami pulang ke rumah masing-masing. Sejak hari itulah Rian mendedikasikan cintanya hanya u/ Widi walau harus menunggu tanpa batas waktu yg belum di tentukan. Entah ini yg dinamakan bodoh, tolol, atau setia? Entahlah aku tak mengerti tentang cinta.

Butir embun pagi membasahi jendela kamarku, tampaknya embun pun kini sudah sangat terkontaminasi, butiran beningnya seperti tertutup belenggu hitam kehidupan ini. Sambil melepas kejenuhan di kamar kadang aku tertawa sendiri ketika teringat masa-masa SMA, terbayang lg saat aku dan Rian di panggil ke ruang konseling. Aku dan Rian tak jarang disebut pasangan homo, tp bagi mereka yg berpikir positif dan berakal sehat menyebut kami sahabat yg sesungguhnya. Rian lebih eksis dariku, dia lebih mudah berbaur. Eksistensi Rian keluar-masuk BK di bayar lunas ketika dia memperoleh jumlah nilai terbesar atau dgn kata lain juara umum. Tp kisahnya dalam hal percintaan tidak seindah ketika dia menjadi juara umum. Keluarganya hancur berantakan, kesepian yg dia rasakan tak jarang dia gambarkan melalui goresan-gosenan pena yg membentuk untaian kata-kata indah. Dan ketika sudah tak bisa mengelak dari kegalauan tak jarang Rian mengajakku menghabiskan waktu dgn minuman berkadar alkohol 40-43% hanya u/ sekedar melepas penat yg membelenggu jiwa. Kami memang peminum tp bukan pemabuk walaupun sering kami minum sampai mabuk.
Liburan semester ini memang sengaja aku memutuskan pulang ke rumah dan ku tingalkan kamar kost yg tak pernah rapi, penuh botol dan abu rokok. Dulu kamar ini yg jd saksi ketidakwarasanku, 2 tahun lebih aku menjadi seorang pesakitan atau pecandu narkoba. Gejala adiksi atau yg lebih akrab dgn sebutan sakaw tak jarang membuatku membenturkan kepala pada dinding kamar. Seandainya Rian tak bisa meyakinkanku bahwa aku bisa lebih baik tanpa drugs, mungkin aku sudah mati over dosis atau mendekam di panti rehabilitasi. Maka dari itu, saat aku tahu Rian memakai drugs, aku marah karena Rian lah yg pernah berkata padaku bahwa drugs tidak akan memecahkan suatu masalah. Tp sungguh tragis, Rian menghadap sang ilahi dalam dekapan drugs.

Sebenarnya liburan kali ini aku ingin benar-benar istirahat. Rehat dari dunia dan meninggalkan setumpuk masalah yg ada. Tapi ternyata setumpuk masalah datang tanpa basa-basi. Pesang singkat dari Luna meremukkan hatiku dan menenggelamkannya ke jurang tanpa dasar. Luna akan ditunangkan dengan lelaki pilihan orang tuanya. Mimpi burukku menjadi kenyataan. Aku dan Luna memang menjalin hubungan, tp kami tak berkomitmen u/ berpacaran karena baik aku maupun Luna tidak mau sakit hati dalam sandiwara percintaan yg diberi judul 'pacaran', kami hanya saling mengisi hati dalam menjalani hari-hari satu sama lain. Tetapi orang tua Luna tidak pernah merestui hubungan kami. Menurut kabar dari Luna, akhir liburan ini pertunangan itu dilaksanakan.

Luna tidak bisa menolak, karena Luna pun pernah bercerita bahwa lelaki itu sangat baik dan peduli padanya dan hati Luna mulai bisa merasa nyaman bersama lelaki lain selain aku. Aku tak bisa mencegah itu, aku hanya ingin Luna bahagia. Tapi hati kecilku tak bisa memendam air mata u/ keluar. Dalam penatnya kejenuhan, ku arungi mimpi u/ menghapus impian bisa bersama Luna selamanya.

Pagi menyingkap tabir, aku pamit pagi-pagi kepada orang tuaku u/ kembali ke kota kembang. Hanya perasaan remuk yg ada, berbatang-batang iblis putih menemani kegalauanku sepanjang perjalanan. Sesampainya, langsung aku ke tempat kost lalu ku temui Luna di kampus.

Luna duduk di taman tempat biasa kami mengulur waktu dengan canda dan tawa. Aku terdiam, membisu seperti patung. Sekian detik aku dan Luna saling diam.

'maaf', Luna mengawali sebuah percakapan.
'untuk apa?', jawabku.
'untuk semua kebaikan yg telah kamu beri dan ajarkan padaku tetapi aku tidak bisa membalas semua itu, dan untuk waktumu yg telah terbuang sia-sia karena menunggu keluargaku menerimamu', jawab Luna.
'sudahlah, mungkin memang begini rangkaian kehidupan ciptaan sang ilahi u/ kita', jawabku sok bijaksana.
'tapi kamu pasti sakit hati', jawab Luna.
'biarkan sakit hati ini menjadi warna bahagia bagimu', jawabku dengan segala rasa sedih yg ada.
'aku harus pulang, Andre sudah menunggu di gerbang kampus', kata Luna.
'oh, namanya Andre? Ya sudah pulanglah, kasihan dia sudah menunggu', jawabku.

Langkah kaki Luna mengakhiri percakapan itu, tetapi mengawali kehancuran jiwaku. Manis dan getir bercampur menjadi satu. Dahan pohon yg bergoyang, daun yg berguguran seolah menyanyikan lagu tentang kisah cinta. Aku tak mau lama-lama berlarut dalam kesedihan itu. Aku bukan romeo dan Luna bukan juliet. Aku harus bisa menjalani hari seperti biasa. Tiba-tiba ada pesan singkat dari Luna.

'dalam keadaan putus asa, jgn mengulang kembali masa lalu yg sudah kamu simpan rapi itu'

Sebuah pesan sarat makna, Luna tak ingin aku terbawa suasana yg membawaku pada drugs dalam mencari ketenangan.

Malam makin larut, pagi hampir menyambut. Sudah seminggu aku tak berkomunikasi dengan Luna dan besok Luna akan bertunangan. Aku hanya terdiam dan tertawa. Mungkin aku bukan pemenang tapi aku juga tidak kalah, setidaknya Luna pernah memberiku kesempatan u/ mengenalnya. Itu sudah cukup bagiku. Kunikmati malam yg tak berbintang, langit seakan ikut berkabung dan prihatin terhadap keadaanku.

Pagi datang menyingsing. Kusambut hari ini dengan semangat membara. Tinggal hitungan hari liburan berakhir dan hari ini tepat pertunangan Luna. Sebenarnya Luna mengundangku u/ datang, tapi aku memutuskan u/ menghindar. Sampai liburan ini berakhir, aku memutuskan pergi menikmati indahnya warna-warni kehidupan. Biasanya aku pulang ke rumah naik bis, tapi kali ini aku ingin nostalgia dalam gerbong kereta yg penuh segala macam carut marut kehidupan.
Sesampainya di stasiun tanah kelahiranku, Niko, sahabatku dan Rian yg sudah lama tak jumpa karena dia pindah sekolah, menjemputku di stasiun. Mahasiswa filsafat ini ku ajak menemaniku menapaki rel kereta dari ujung pulau jawa bagian barat sampai ujung pulau jawa bagian timur. Cukup gila, dan terkesan buang-buang waktu, tapi inilah dulu yg aku, Rian, dan Niko lakukan saat mengawali liburan sekolah.

'aku kira setelah berpisah sekian lama kau sudah waras', ejek Niko padaku.
'aku merindukan masa-masa kita dahulu, karena itu ku ajak kau nostalgia', jawabku.
'seandainya Rian masih ada, mungkin dia punya ide caranya nostalgia yg lebih gila', jawab Niko sambil tertawa.

Tidak lama setelah itu, aku dan Niko naik kereta memulai perjalanan. Hanya lewat pesan singkat kusampaikan ijin aku pergi ke luar kota dan permintaan maaf karena tidak menyempatkan pulang ke rumah dahulu.
Sepanjang perjalanan, kunikmati suasana yg ada. Hembusan angin yg membelai mesra, suara angin yg lirih tapi merdu saat menyentuh dedaunan, cukup memberikan sedikit ketenangan pada jiwa kosongku. Kami saling bertukar cerita dan kuceritakan kejadian yg baru ku alami akhir-akhir ini. Dan perkataan mahasiswa filsafat ini cukup menyentuh dan memberikan hiburan pada hatiku.

Sekian lama perjalanan, gelandangan, pengemis, pedagang, dan lain sebagianya selalu setia menemani silih berganti. Niko sibuk merangkai kata-kata indah u/ materi skripsinya. Penumpang lain sibuk dengan barang bawaannya dan ada yg sibuk dengan mimpinya. Aku hanya terdiam, kulihat pemandangan alam sekitar, ku mencoba mengumpulkan kembali semangat yg selama ini punah. Waktu rehat yg cukup singkat ini ku gunakan sebaik mungkin. Dan aku mulai menemukan kembali mozaik-mozaik kehidupan baru yg siap ku susun. Aku tersadar, perasaan sakitnya hati karena cinta terhadap tambatan hati belum seberapa bila dibandingkan dengan perasaan sakit hatinya para pengemis dan gelandangan ini yg selalu dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Tapi mereka menikmati keadaan itu, karena inilah yg tuhan berikan u/ mereka. Mereka hanya bisa berusaha, selebihnya di serahkan kepada sang penggenggam jiwa.

Senja mulai datang sambut sang bulan. Suasana malam di gerbong kereta yg kotor dan bau segala macam aroma ini sungguh tak bisa dilukiskan. Tetapi yg pasti dari keadaan ini muncul buih-buih semangat menjalani hari-hari. Ku tutup lembaran kelam ini. Aku yakin Andre bisa membuat Luna bahagia.

Lalu aku? Aku tetaplah aku yg masih seperti dulu, hanya saja dengan semangat baru menatap dunia.
Malam makin sunyi, Niko sudah tertidur, penumpang yg lain pun sedang asik bermain dengan mimpinya masing-masing, para gelandangan dan pengemis pun menikmati mimpinya dalam gerbong ini. Kini yg terdengar hanya suara roda kereta diatas rel memecah kebisuan malam. Aku mulai memejamkan mata, dan besok pagi akan kusambut prolog sang mentari yg memanjakan bumi ini. Apa yang aku cari biarlah aku yang menemukan dalam pencarian terakhir ini.

Aku dan Dia (cerpen bagian 2)

Sinar matahari pagi membuyarkan mimpiku, menerobos di celah gorden, menembus pekatnya kamar yg tak pernah rapi. Dinginnya pagi di kota kembang sungguh menusuk kalbu, sangat berbanding terbalik dgn kota asalku. Kulihat jam dinding, tak kusangka jarum pendek berada pada angka 9, jarum panjang pada angka 12 tepat dan jarum satunya lg terus saja berputar tak peduli apapun yg terjadi. Terlambat lg aku pergi ke kampus. Sebenarnya jarak dari tempat kost ke kampus tidak terlalu jauh hanya sekitar 15 menit, hanya saja banyak rintangan yg harus dilalui di jalan sana. Kemacetan menjadi teman setia di kota ini, belum lg padatnya kendaraan dan angkutan umum yg menambah parah keadaan. Setelah siap menuju kampus segera ku tancap gas motorku, 'si merah' yg setia menemaniku sejak masih duduk di bangku SMP.

Total waktu terlambatku 45 menit, ku percepat langkahku menuju kelas. Di depan kelas kulihat Luna berdiri, gadis yg cantik dan manis, aku cukup dekat mengenalnya.

'kenapa gak masuk?', tanyaku pada Luna.
'nunggu teman supaya masuknya bareng', jawab Luna.
'ya sudah ayo masuk', ajakku.

Kulihat dari jendela, dosen sedang asik memberikan materi. Aku dan Luna pun memberanikan diri masuk kelas.

'Permisi pak', sapaku dan Luna kepada dosen pengajar.
'ya silahkan', jawab sang dosen.

Ketika aku hendak menuju kursi kosong, dosen berkata,

'yg terlambat tolong di tutup pintunya..'.

Langsung ku tutup pintu itu.

'..tapi dari luar, dan yg terlambat satunya lg tolong temani temanmu itu menutup pintu diluar'.

Sungguh halus cara dosen itu mengusirku dari kelas, perlu ku tiru jika kelak aku menjadi dosen. Akhirnya aku dan Luna terpaksa menghabiskan materi pertama di kantin.

Tidak terasa matahari mulai codong ke ufuk barat, dan kuliah hari ini pun selesai. Aku sengaja tidak langsung pulang ke tempat kost, kuhabiskan sisa waktu menyendiri di taman kampus.

'hei! Kenapa melamun?', teguran Luna membuyarkan lamunanku.

'Pasti ngelamun jorok!', tambahnya disela dengan tawa.

'enak saja! Hanya sedang ingat sahabat di masa lalu', jawabku.

'ohh pasti sedang ingat Rian yah?', Luna berusaha menebak lamunanku. Aku memang pernah bercerita tentang Rian kepada Luna.

'pulang yuk', Luna mengajakku pulang.
'baiklah tp tanggung 1 batang lg', jawabku.

Setelah iblis putih batang terakhir kuhisap, kami pun pulang. Kami memang sering pulang bersama karena kost an ku satu arah dgn rumahnya. Sesampainya di rumah Luna, ia mengajakku mampir, namun karena penat yg membelenggu jiwaku seharian ini aku pun memutuskan u/ langsung pulang.

Lelah rasanya hari ini, usai pulang kuliah aku hanya berbaring di kasur. Tak terasa adzan isya berkumandang, ternyata lagi-lagi 5 waktu kulewatkan begitu saja. Akhir-akhir ini kejenuhan menghinggapiku, aku merasa kehilangan hari-hari, jati diri sepertinya pergi, bayangan yg dulu selalu menemani saat gelap kini telah tiada. Besok tidak ada kuliah, kuputuskan u/ istirahat di rumah menemukan kembali semangat mahasiswa baru kuliah. Tp ada pesan singkat masuk ke ponsel ku, ternyata dari Luna. Ia mengajakku menemaninya mencari buku lama karangan Soe Hok Gie 'Catatan Seorang Demonstran' dan 'Lentera Merah'. Sungguh buku yg tidak mungkin dibeli di toko buku-buku baru. Akhirnya aku menyetujui ajakan Luna, kuhapuskan niatku menyendiri di kamar seharian penuh esok hari.
Fajar menyingsing, tawa sang mentari memberikan corak pelangi pada butiran embun yg terkontamisi seiring jaman. Ku bergegas menuju rumah Luna.

'maaf terlambat, lupa pasang alarm', alasanku pada Luna.
'tak apa, memang kamu sudah biasa terlambat', jawab Luna mengejekku.

Seharian penuh kami mencari buku usang itu, dan akhirnya hanya buku 'Catatan Seorang Demostran' yg berhasil di temukan. Surya mulai tenggelam, langit biru mulai memasuki senja. Ku ajak Luna makan malam di lesehan simpang jalan, malu rasanya mengajaknya makan malam di tempat seperti ini, namun bagaimana lagi inilah yg aku bisa sekarang.

'maaf yah makan malamnya di tempat seperti ini', kataku pada Luna.
'tak apa, lebih enak begini sambil menikmati pemandangan kehidupan jalanan', jawab Luna.

Sebenarnya sudah lama aku menaruh perasaan pada Luna, entah perasaan cinta atau hanya suka karena rasa simpatiknya padaku. Namun aku melihat keadaan, aku hanya mahasiswa urakan yg hidup apa adanya. Sedangkan Luna adalah anak seorang pejabat di pemerintahan. Tak mungkin aku bisa menghabiskan sisa hidupku bersama Luna, walau sebenarnya hati nuraniku tak bisa di ajak bohong u/ berharap.

Selesai makan malam ku antar Luna pulang. Di depan rumahnya terparkir mobil sport mewah berwarna hitam dengan lambang kuda jingkrak, terlihat kedua orang tua Luna sedang berbincang-bincang di teras depan dengan seorang lelaki berpakaian rapih, tampaknya anak baik-baik dari keluarga kerajaan, entah kerajaan mana. Cukup merasa tersingkir aku saat itu, aku hanya bermodal motor bobrok yg prestasinya adalah bebas tilang dan lolos dari razia aparat kepolisian.

'siapa itu?', tanyaku pada Luna.
'anak temannya papa', jawab Luna.

Dengan sedikit basa basi aku langsung pulang. Tatapan orang tua Luna seakan mengatakan 'sampah masyarakat dilarang masuk!'.

Cukup lelah aku hari ini, sesampai di kamar langsung ku rebahkan tubuhku memasuki alam mimpi. Sinar matahari akhirnya membangunkanku. Hari sudah siang, tak ada semangat kuliah hari ini. Banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Luna di ponselku, menanyakan dimana
Seharian penuh aku merenung, menikmati hembusan nafas di tengah kepulan asap. Mulai terpikir di benakku, mungkin penat yg hinggap selama ini tentang perasaanku pada Luna. Aku berniat mengutarakannya, aku tak perlu jawaban, yg ku ingin hanya jiwa ini tenang. Namun rasanya sulit, sudah lama aku tak mengutarakan perasaan kepada wanita karena aku sulit u/ jatuh cinta, entah kelainan atau kebodohan semata. Akhirnya ku hubungi Luna, ku ajak makan malam diluar. Ku jemput Luna di kampus dan kami langsung menuju tempat makan kemarin.

'katanya ada yg ingin dibicarakan?', Luna membuka obrolan.
'iah, tp bingung harus mulai darimana?', jawabku.
'memangnya tentang apa?', tanya Luna.
'tentang cinta', jawabku singkat.
'Luna, sebenarnya...

Tak sanggup rasanya lidah ini merangkai kata. Namun akhirnya kubiarkan kata-kata mengalir dgn sendirinya dari hatiku. Ku ungkapkan semua perasaanku pada Luna. Tp aku sadar keadaanku, alasanku hanya mampu memendam perasaan ini. Kuceritakan semua masa lalu kelam yg pernah ku alami, menjadi seorang pesakitan (pemakai narkoba), pemabuk, berandalan, dan lain-lain yg merusak generasi bangsa. Dan Luna menjawab. .

'aku jg cinta padamu, aku tidak melihatmu dari satu sisi. Aku melihatmu dari sisi aku merasa nyaman bersamamu'.
'tp aku tidak pantas u/ mu, apa kata orang tuamu nanti anak gadisnya berpacaran bahkan kalau jodoh menikah dgn orang sepertiku?', jawabku.
'aku yakin kamu bisa berubah, aku tahu jati dirimu tidak bisa dirubah, tp pasti bisa jadi lebih baik, dan aku akan menemanimu memperbaiki itu', jawab Luna.

Aku hanya bisa terdiam.

'kamu tahu lelaki yg kemarin?, tanya Luna.
'Hm, lantas?', tanyaku.
'orang tua kami saling menjodohkan anaknya, dan aku tidak menutup kemungkinan akan jatuh cinta padanya dan menerima lamarannya', jawab Luna.
'ayolah bersaing, buktikan pada orang tuaku bahwa kamu lebih baik!'.

Lagi-lagi aku hanya terdiam, hembusan angin malam menusuk kalbu. Namun lega rasanya mendengar pernyataan bahwa Luna jg mencintaiku. Ku akhiri malam ini, ku antar Luna pulang. Senyum manisnya memberiku semangat u/ berubah sedikit lebih baik.

Terdiam aku dalam kehampaan malam, hawa dingin menembus nadir membuyarkan paradigma tentang cinta. Aku tak mengerti. Pesan singkat dari Luna membuyarkan kehampaanku.

'Langit adalah sebuah kitab yg menyimpan berjuta rahasia, dan kita termasuk di dalamnya. Semua sudah tersusun rapi, sistematis, dan bergerak seiring waktu berjalan. Mungkin bagi mereka kau adalah yg patut dipertanyakan, tp bagiku kau adalah jawaban. Tanpa mencoba melangkah kau tidak akan pernah tahu dimana kau akan sampai. Aku akan selalu ada disampingmu dan akan selalu menunggumu u/ membawaku menemanimu menghabiskan sisa waktu'

Semakin tersudut aku dalam ruang, namun ada sedikit nyala cahaya dalam kegelapan. Aku terdiam, terbawa angan u/ berubah menjadi lebih bermakna.

Titik Terakhir (cerpen bagian 1)

Terdengar suara bising motornya memasuki halaman parkir sekolah.
“Maaf bu,saya terlambat.” Untuk yang kesekian kali setiap pelajaran pertama, suara itu terdengat sangat akrab di telingaku. Sudah seminggu terakhir ini Rian, teman sebangkuku terlambat datang ke sekolah dan jika ditanya mengapa, alasannya masih sangat kolonial, yaitu tidur terlalu larut, terlambat bangun, di tambah jalanan macet. Kemudian tanpa basa-basi lagi dengan gayanya yang khas, ia langsung duduk disebelahku.

Tepat pukul satu siang. Saat yang paling tidak menyenangkan berada di kelas. Hawa panas yang menyengat bercampur menjadi satu dengan perasaan ingin cepat pulang, membentuk kepulan-kepulan yang mempengaruhi konsentrasi belajar.

“Keluar yuk, percuma disini, gurunya galak dan cara mengajarnya membosankan, monoton”, bisik Rian padaku,takut suaranya terdengar oleh sang guru. Tanpa banyak pikir panjang aku langsung menyetujui ajakan Rian. Aku dan Rian pergi ke kantin sekolah sambil menyusun rencana dan memikirkan alasan apa yang akan kami utarakan jika dipanggil menghadap guru BP nanti, karena ke kantin pada saat jam pelajaran dengan dalih pergi ke toilet. Tapi kami tidak begitu memperdulikannya, karena alasan pasti akan datang menyertai kami saat kami ada masalah.

Udara pada hari itu memang tidak sedang bersahabat, panas menyengat di sekujur tubuh seakan bumi ini memanggang seluruh penghuninya. Awalnya, pulang sekolah aku berniat langsung pulang ke rumah karena tidak tahan dengan serangan panas yang membabi buta menyerang apa saja, di tambah kantuk yang sudah memasuki stadium 4. Tapi Rian mengajakku main dulu, akhirnya aku pun mengurungkan niat langsung pulang ke rumah.

Rian mengajakku ke tempat ia biasa kumpul bersama teman-temannya di luar. Di sebuah rumah yang lumayan besar tapi tidak terurus, Rian mengajakku masuk. Tak ada satu pun dari mereka dirumah itu yang ku kenal. Penampilan mereka urakan, menandakan mereka liar dan besar di jalanan. Tapi cara bicara mereka teratur dan sistematis seperti para anggota dewan. Mereka pun menyalami dan memperkenalkan diri padaku. Kurang lebih dua jam berlalu, setelah saling bertukar cerita dan tawa, aku teringat akan pulang ke rumah. Lalu aku pamit untuk pulang, tapi sejak datang tadi tak ku lihat dimana Rian. Saat hendak ku tanyakan dimana keberadaan Rian, Rian keluar dari sebuah ruang belakang. Matanya sedikit merah, entah tadi di dalam sana ia tidur atau apalah, aku tak perduli, yang pasti aku harus lekas pulang.

Pagi datang. Matahari menggeser bulan, bergantian memantau tingkah laku anak cucu Adam. Bel sekolah berbunyi, semua siswa masuk kelas masing-masing. Kulihat di parkiran sekolah, motor Rian belum terlihat, tampaknya ia terlambat lagi hari ini.
Sudah satu jam pelajaran pertama berlalu, tapi kursi disebelahku masih kosong, Rian belum datang juga. Otakku berpikir kemana ia pergi, kalau tidak sekolah ia pasti sms padaku atau mengabari teman yang lain. Panas hari ini tidak seganas kemarin, penat pun tidak begitu terasa. Tapi ada sesuatu yang aneh hari ini, Rian tidak masuk sekolah dan tidak satupun yang mengetahui dimana ia berada.
Bel pulang sekolah berbunyi, seluruh siswa tumpah di parkiran. Tanpa pikir panjang langsung kubawa motorku pulang. Sesampai di rumah, rasa lelah begitu menyerangku lalu aku pun tertidur sampai suara ayam berkumandang di pagi hari membangunkanku.

Ku jalani runititas pelajar sebagaimana mestinya. Hari ini banyak ulangan dan semalam aku tidak belajar. Aku berharap Tuhan akan memberikan anugrahnya melalui sebuah sms yg diperantarai oleh temanku. Lalu mau jadi apa bangsa ini kalau semua generasi penerusnya sepertiku?. Hari ini Rian belum juga masuk sekolah, entah kemana dia, semua guru mata pelajaran yg mengajar hari ini menanyakan padaku kabar Rian sedangkan aku sendiri tidak tahu.

Rian memang terkenal di sekolah karena reputasinya yang beraneka ragam. Dia terkenal tidak pernah mengumpulkan tugas, penampilannya yang sekehendak hati, dan jika dia bosan dengan suatu pelajaran maka dia tidak segan keluar pelajaran itu. Tapi reputasi buruknya itu selalu dia iringi dengan nilai-nilai yang sempurna pada saat ulangan harian atupun semester. Jadi, walaupun banyak guru yang tidak suka padanya, tidak sedikit pula guru yang menyukai dia.

Sepulang sekolah aku berniat mengunjungi tempat tongkrongannya. Sesampainya disana tidak kulihat motor Rian. Kumasuki rumah itu, lalu aku menanyakan keberadaan Rian. Tidak satupun dari mereka yang tahu. Mereka bilang sudah dua hari Rian tidak kesini dan terakhir dia kesini ia hanya bertemu sebentar dengan Bongky, yaitu koordinator anak jalanan itu sekaligus pemilik rumah. Lalu aku pun pamit pulang kepada mereka. Di rumah aku coba menghubungi hp Rian, tapi selalu tidak aktif, nampaknya ia sedang tidak ingin di ganggu.

Tanpa terasa hari semakin berlalu, ini hari ke tujuh Rian tidak sekolah. Aku selalu berusaha menghubungi dan mencari dimana Rian tapi hasilnya selalu nihil. Pihak sekolah mengrim surat panggilan ke rumah Rian tapi karena ibunya Rian sedang berada diluar kota dan ayahnya di luar negeri, jadi belum satupun dari mereka memenuhi panggilan sekolah. Kedua orang tua Rian memang sudah bercerai, dan Rian memilih tinggal bersama ibunya di Indonesia. Tapi pasti saat ini orang tuanya pun tidak tahu kalau sudah satu minggu Rian menghilang dari peredaran.

Hari ini lagi-lagi panas begitu menyengat, tidak bersahabat. Dengan langkah gontai kubawa motorku pulang. Di perjalanan pulang, tak sengaja kulihat motor Rian terparkir di depan sebuah taman dan tidak jauh dari sana kulihat sosok Rian yang sedang merenung seorang diri. Aku berhenti sejenak, kuurungkan niat pulang lebih awal. Kuhampiri Rian, ku duduk disampingnya. Ku tanya kemana saja dia selama ini. Lalu ia menjawab,”tak perlu kau tahu.”

“Sudah lama kita berteman, namun baru kali ini kau menyembunyikan rahasia padaku.” tegurku pada Rian.
Akhirnya Rian pun menceritakan semuanya padaku, tentang kesepiannya selama ini, tentang ridunya kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tua. Rian menginginkan kedua orang tuanya bersatu kembali. Tapi ada satu hal yang membuatku marah padanya, saat ia menceritakan cara ia terlepas dari kesepian itu. Saat dia menemui Bongky untuk memesan drugs. Ternyata saat kulihat ia keluar dari sebuah ruangan dan matanya merah, rupanya dia habis memakai drugs.

“kau sudah terpengaruh mereka ian!, anak-anak jalanan itu liar dan tak berpendidikan!, apa kau sudah tidak punya otak mencari ketenangan jiwa dengan mengunakan narkoba?!” kataku, meluapkan kemarahan pada Rian.

“terserah kau mau bilang apa, yang jelas tidak semua dari mereka pemakai. Dan apa kau pikir semua yang ada di tempat ibadah itu baik?, lalu kau anggap semua yang di jalanan itu buruk?” jawab Rian santai.

“tapi bukan narkoba cara yang tepat mencari ketenangan, bukan drugs!, ian, tuhan tidak akan membawa hambanya sampai sejauh ini kalau hanya untuk di tinggalkan begitu saja di tengah jalan” kataku meredam emosi.

“sudahlah, tidak ada gunanya kita bertengkar disini, ayo pulang” Rian menyudahi pertengkaran itu.

Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Ku ikuti Rian sampai ia benar-benar masuk ke rumahnya, lalu ia pun tersenyum padaku seakan beberapa saat yang lalu tidak pernah ada selisih paham antar sahabat.

Rintik hujan memulai hari baruku, aku pun sampai di sekolah dengan keadaan yang cukup basah. Belum sempat ku usap wajah yang basah karena air hujan, pengumuman di pengeras suara sekolah membuat seisi sekolah membatu dan kembali membasahi wajahku dengan air mata. Rian meninggal dunia tadi malam, ia over dosis narkoba. Aku tak mampu berkata-kata. Ruh seperti tercabut dari jasadku untuk menyusul Rian. Aku terdiam.

Rupanya air hujan menandakan turut berduka citanya alam atas kepergian Rian. Seusai pemakaman Rian, aku pergi ke taman dimana kemarin kami berselisih paham. Tak kusangka itu saat terakhir aku bicara panjang lebar dengan Rian, dan tak kusangka saat kuantar ia pulang ke rumah itu terakhir ku bertemu dia dan itu adalah senyum terakhirnya. Kubaca surat dari Rian yang dititipkan kepada ibunya yg saat itu sudah pulang dan mengantar kepergian terakhir anaknya, mungkin di tulis sebelum ia mengkonsumsi drugs secara berlebihan.





"Aku tahu tuhan tidak akan pernah meninggalkanku,
Karena aku sadar sebenarnya akulah yang meninggalkan tuhan,
Kini, aku siap kembali padanya,
Di dalam kesepian dan kesendirian aku mencari suatu titik dimana penderitaan itu berakhir,
Dan kini telah kutemukan titik itu,
Titik terakhir dalam hidup…"



Di tengah hamparan taman ini, kurasakan Rian hadir. Mungkin ini garisan hidupnya, tak ada satu pun yang dapat merubahnya kecuali dia sendiri dengan tuhannya.
Perlahan awan kelabu di langit turun menjadi gerimis. Butirnya yang lembut serupa tabir putih menyelimuti kenangan yang pernah tercipta diantara kami berdua.
Selamat jalan kawan. Selamat tinggal sahabat.